Selasa, 28 September 2010

AKULTURASI HINDU-ISLAM DI DESA BENTAR

MAKALAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, memiliki banyak Suku, Ras, budaya serta kepercayaan. Hal-hal tersebut saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat seperti halnya sifat tradisi Indonesia penuh diliputi oleh mitos dan upacara yang mempengaruhi dalam ajaran agama yang dipeluk oleh masyarakat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh John yang berarti bahwa tradisi ini masih kuat dipegang oleh masyarakat bahkan sulit untuk ditinggalkan. Agama yang ada atau pun agama yang pernah eksis dalam kehidupan masyarakat akan mempengaruhi watak dan pribadi masyarakat. Seperti halnya masyarakat Jawa yang masih terdapat unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam, Animisme dan Dinamisme yang menyatu dalam sebuah kepercayaan orang Jawa..[1]

Geert adalah sarjana pertama yang memperkenalkan istilah Santri dan Abangan. Menurut Geert dalam masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam dapat dilasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu kelompok Santri, Priayi dan Abangan[2]. Terjadi hal tersebut karena masyarakat Jawa sangat menghargai dan menjunjung nilai, norma, etika dan budaya yang telah dipegang sejak lama. Kelompok tersebut masih eksis sampai sekarang terutama didaerah yang masih belum begitu tersentuh dengan gaya kehidupan modern.

Seperti halnya masyarakat di Desa Bentar Kecamatan Salem Kabupaten Brebes yang letaknya masih relatif jauh dengan kehidupan kota, sehingga dalam kehidupan masyarakat masih kental dalam suasana budaya asli yang masih belum tersentuh dengan kebudayaan luar. Di bentar masih terdapat kebudayaan yang bersifat religi yang sepertinya terdapat dua unsur agama yang mempengaruhi kebudayaan itu. Kedua unsur yang mempengaruhi hal itu adalah unsur Hindu dan Islam. Apabila kita melihat sejarah maka bisa jadi kebudayaan ini merupakan media para wali ataupun ulama terdahulu untuk menyebarkan agama islam. Namun kebudayaan terseburt masih terjaga keeksis tensianya di Desa Bentar. Selain dari itu, mayoritas masyarakat Desa Bentar adalah petani. Biasanya kaum petani mempunyai kepercayaan mistis yang kuat. Sehingga dalam kehidupanya banyak yang dianggap unik dan menarik untuk di teliti lebih jauh.

B. Rumusan Masalah

Dari rumusan latar belakang di atas, maka terdapat pertanyaan yang dijadikan sebagai rumusan masalah. Yaitu :
Bagaimana Gambaran Umum Desa Bentar?
Bagaimana Kehidupan Beragama Pada Masyarakat Desa Bentar?
Seperti Apa Bentuk Sinkretisme Hindu-Islam Yang Terdapat Di Desa Bentar?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Desa Bentar

Desa Bentar merupakan suatu desa yang terletak di Kecamatan Salem Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Desa Bentar terletak di bagian utara Kecamatan Salem , Desa Bentar disebelah utara berbatasan dengan Pegunungan Barisan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bentarsari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Salem, dan bagian barat berbatasan dengan Desa Pabuaran, Desa Tegal Gede dan Desa Tembong Raja.

Kecamatan Salem termasuk kedalam Kabupaten Brebes. Kecamatan Salem berada di daerah Brebes bagian selatan, di utara kecamatan Salem berbatasan dengan kecamatan Banjarharjo, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan yang dibatasi dengan pegunungan yang disebut Gunung Tilu, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap tepatnya berbatasan dengan Kecamatan Majenang. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Bantarkawung.

Pada masa lampau, daerah Salem termasuk dalam wilayah Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran. Ada sementara cerita lisan yang mengatakan bahwa penduduk Salem ada keterkaitan dengan Kejadian Perang Bubat jaman Majapahit.[3]

Kecamatan Salem merupakan daerah pegunungan (400-900 mdpl), dimana Salem sendiri berada di lembah yang dikelilingi hutan dan deretan pegunungan di sekitarnya, berhawa sejuk (16-22° C) dan memiliki panorama yang indah. Lanskape kecamatan Salem mirip mangkok bakso. di kiri kanan adalah daerah pegunungan- pebukitan yang cukup tinggi.

Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani padi dan berladang, pedagang, pengrajin anyaman, dll. Namun apabila sedang musim tidak menggarap tanah pertanian maka penduduk biasanya merantau ke kota besar untuk mencari mafkah. Gotong royong dalam kehidupan masyarakat masih tertanam kukuh dan merupakan suatu hal yang sangat di pentingkan. Yang masih melekat kuat adalah gotong royong dalam membuat rumah. Penduduk saling membantu baik berupa tenaga, pikiran dan materi untuk kesuksesan pembangunan rumah.

Kawasan Brebes Selatan termasuk kecamatan salem merupakan daerah perbukitan dan pegunungan, sehingga berpotensi untuk aktifitas ekonomi berupa perkebunan, pertanian dan kehutanan. Dalam konteks hidrologis, kawasan ini adalah daerah resapan air yang sangat penting bagi penyediaan air baku dan air tanah baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan pertanian, perikanan dan peternakan.

Salem dapat diakses dengan jalan darat melalui tiga jalur utama yaitu: dari BumiayuGunung Lio utara (sekitar 30 km). Akses menuju Salem dari jalur manapun harus melalui jalan yang terjal dan sempit dengan kualitas aspal yang asal ada (kualitas rendah). Akhir-akhir ini tampaknya cukup bagus dengan aspal kualitas hotmik untuk jalur Sindangheula (utara) dan jalur Majenang (selatan) serta jalur Bumiayu (2006). Untuk dilalui kendaraan roda empat cuma ketiga jalur tersebut. Akan tetapi harus ekstra hati-hati karena terjal, terutama dari arah Sindangheula (utara). Ada satu lagi jalur alternatif, yaitu jalur barat Kuningan melalui desa Capar - Ciwaru, tetapi harus jalan kaki.[4] (timur) sekitar 40 km, dari Majenang (selatan) sekitar 20 km, atau dari Banjarharja melalui desa Sindangheula dan mendaki

Budaya dan kesenian banyak memiliki kesamaan dengan kesenian yang berkembang di daerah Priangan Timur, seperti kiliningan, wayang golek, reog, calung, dsb. Demikian juga untuk kalangan santri terdapat kesenian terbang atau gembyung, dan seni tari rudat. Untuk budaya dan kesenian tertentu terpengaruh dari budaya & kesenian khas Cirebon seperti kesenian Tarlingan.

B.Kehidupan Keagamaan

Hampir seratus persen masyarakat di Desa Bentar beragama Islam. Namun dalam kehidupan beragama terdapat tiga tingkatan dalam pemelukan agama Islam. Yang pertama adalah kelompok yang benar-benar mengkaji Islam dan taat menjalankan ajarannya. Mereka sering disebut Santri. Yang kedua adalah orang yang taat menjalankan ajaran Islam namun nasih menjalankan ajaran-ajaran yang berbau Hindu. Mereka sering disebut sebagai Islam Kejewen atau Abangan. Yang ketiga adalah orang yang hanya mengaku beragama islam tapi tidak menjalankan ajarannya. Golongan ini disebut sebagai Islam KTP. Mereka lebih sering melakukan ritual upacara-upacara seperti halnya upacara yang dilakukan oleh orang Hindu.

Dari pernyataan diatas yang paling menarik adalah golongan kedua dan ketiga yaitu Abangan dan Islam KTP. Mereka beragama Islam namun masih berbau gaya kehidupan orang-orang Hindu. Hal ini terbukti dengan sering dilakukannya upacara-upacara atau sesaji atau selamatan pada waktu-waktu tertentu. Unsur-unsur tersebut masih terus dilakukan sampai sekarang. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat sepertinya masih terdapat pertentangan antara orang santri yang benar-benar menjalankan ajaran Islam murni dengan orang-orang abangan. Pertentangan terjadi karena terdapat hal yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang dilakukan oleh para Abangan tersebut.

Kehiduapan beragama yang kuat dan kebudayaan lama yang telah melekat pada masyarakat Bentar menjadikan keduanya saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat. Tidak sedikit yang percaya terhadap mistis walaupun telah beragama Islam. Masyarakat percaya dengan adanya kekuatan-kekuatan gaib yang ada di sekeliling mereka.

Banyak dari penduduk yang masih pergi kemakam-makam yang dianggap keramat sebagai tanda kaul atau menyampaikan permohonan atau ijin sebelum melakukan suatu hal yang dianggap penting, seperti akan diadaknnya pesta, mendirikan rumah, dan melukakan usaha lainnya. Dalam kehidupannya dikenal tahap-tahap upacara dalam lingkaran hidupnya dari mulai kelahiran[5], menikah, memasuki rumah untuk menetap, sampai kepada upacara meninggalnya seseorang. Tidak mengherankan jika nilai-nilai keagamaan itu masih melekat dalam kehidupan masyarakat Desa Bentar. Kebudayaan di Desa Bentar terpengaruh oleh dua kebudayaan yait kebudayaan Jawa dan kebudayaan Sunda. Pengaruh ini disebabkan karena Desa Bentar merupakan daerah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga tidak mengherankan terjadi banyak akulturasi antara kebudayaan jawa dengan Sunda. Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari adalah bahsa Sunda. Namun uniknya bahasa Sunda yang dipakai orang kecamatan Salem tidak begitu dimengerti oleh orang sunda asli (orang-orang parahyangan) tapi orang Salem Sendiri mengerti Bahasa Sunda Parahyangan. Orang Jawa Barat menganggap bahwa bahasa Sunda yang dipakai di Kecamatan Salem mirip dengan bahasa Sunda orang Baduy. Penulis juga pernah mendengar cerita dari seorang kokolot desa bahwa masyarakat Kecamatan Salem masih mempunyai kaitan dengan suku Baduy di Banten.

Walaupun hampir semua penduduk asli desa bentar beragama islam namun masih banyak terdapat unsure-unsur yang tidak bernafaskan islam. Masyarakatnya masih percaya dengan dongeng-dongeng yang bersifat turun temurun. Seperti halnya dongeng tentang dewi sri yang dikaitkan dengan tanaman padi. Menurut kepercayaan masyarakat bentar dewi sri merupakan dewi padi yang memberkati para petani. Dengan kepercayaan itu maka banyak dilakukan upacara (selamatan) yang dilakukan dari mulai pembukaan lahan pertanian, penggarapan, sampai pada pemanenan padi.


C. Akulturasi Hindu-Islam Di Bentar
Proses Sesaji pada Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha

Hampir sebagian besar masyarakat desa bentar melakukan sasajen (sasaji) ketika malam Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Mereka percaya bahwa sesaji atau selametan dapat menambah keberkahan (ngalap berkah), kesuskesan, rejeki, dan untuk keselamatan.[6] Kepercayaan itu sangat melekat kuat terutama bagi orang yang masih beranggapan kolot.

Dalam pelaksanaan sasajen pada waktu terdapat menu sesaji yang harus ada dalam sesaji tersebut yaitu :[7]
Nasi tumpeng, tumpeng adalah gunungan nasi yang berbentuk seperti kerucut. Diatas puncak tumpeng ada yang memakai telur ayam kampung dan ada yang tidak tergantung selamatannya. Apabila upacara atau selamatan tersebut tidak begitu disakaralkan biasanya tumpeng tidak memakai telur dan selamatannya pun dilakukan secara sederhana. Namun jika upacara tersebut dianggap sakral maka menu sesaji harus lengkap.Bubur merah dan bubur putih, Sorabi merah dan sorabi putih, Ketupat, leupeut, dan tantang angin. Leupeut sama seperti ketupat namun terbuat dari beras ketan dan memakai santen atau kelapa yang diparut, dibungkus dengan daun kelapa dengan bentuk memanjang. Sedangkan tantang angin terbuat dari beras biasa dan bungkusnya memakai daun dibuat berbentuk segitiga. Wedang kopi (kopi pahit dan kopi manis), teh manis dan pahit, air putih. Pisang raja, pisang emas, serutu, rokok, gula batu, Sirih, gambir, tembakau (bahan untuk nginang). Bunga tujuh jenis. Bunga tersebut direndam dengan air biasanya pada air bunga tersebut diberi uang koin.

Setelah hal itu selesai di siapkan, maka ketika tepat waktu maghrib dimulailah ritual sesaji tersebut. Biasanya warga memanggil orang yang di anggap tua (orang pintar) untuk membacakan jampi-jampinya[8].

Dimulai dengan membakar kemenyan lalu membacakan jami-jami yang secara garis besar isi jampi-jampi tersebut adalah menyerahkan sesaji tersebut pada Wanga Tua (nenek moyang keluarga yang bersangkutan). Setelah pembacaan jampi persebut setiap orang jangan dekat dengan sesaji tersebut. Menurut kepercayaan mereka, setelah sesaji dijampi-jampi maka para wanga tua akan berkumpul di sekitar sesaji tersebut.
Setelah keesokan harinya maka bunga yang tadi di rendam dengan air dibuang kejalan ketika matahari terbit.

2. Sedekah Bumi
Selain dari sesaji pada hari raya besar Islam, ada juga upacara yang dipersebahkan untuk bumi, masyarakat Bentar menamakannya Sedekah Bumi. Sedekah bumi dilaksanakan pada bulan sura sehingga sering disebut juga Sedekah Sura.
Dalam pelaksanaannya, biasanya masyarakat berkumpul di perempatan jalan atau tanah lapang dengan membawa hasil bumi dan masakan-masakan yang terbuat dari hasil bumi seperti sayuran dll. Terdapat pula sesaji seperti sesaji pada hari raya Islam. Namun perbedaannya dalam sedakah bumi terdapat tumpeng yang terbuat dari Nasi Kuning dan juga terdapat Bekakak/Ingkung ( ayam bakar tapi tidak dipotong-potong). Selain itu banyaknya hasil bumi. Selamatan tersebut di pimpin oleh dua tokoh ketua kampung (Kokolot) dan tokoh agama (Kiayi). Setelah seluruh warga berkumpul maka dimulailah ritual tersebut setiap orang duduk dengan membuat lingkaran besar mengeliling makanan yang tadi dibawa.

Yang pertama memimpin dalam ritual tersebut adalah ketua adat (kokolot). Dalam penyampaian mantra bersamaan dengan membakar kemenyan dan biasanya mantra/ jampi di ucapkan keras, sedangkan yang hadir disana menyelangi dengan kata (Nyakseni ) dengan serentak. Setelah ritual yang dilakukan oleh kokolot selesai dilanjutkan dengan berdoa sesuai dengan ajaran islam, dipimpin oleh pemuka agama (Kiayi). Setelah doa selesai maka masyarakat memakan makanan tadi bersama-sama. Ada orang yang percaya bahwa makanan tersebut dapat menambah umur dan awet muda.
Upacara Sesaji dan Keunikan yang Lainnya di Desa Bentar

Selain yang dibahas diatas masih banyak lagi hal-hal yang masih berbau Hindu-Islam. Hal itu tercermin dari seringnya upacara sesaji yang dilakukan masyarakat seperti sesaji pada setiap hari kelahiran, hari kematian, sesaji untuk keberhasilan yang sedang berusaha. Untuk orang yang sedang usaha (mencari nafkah) biasanya diberi sesaji yang cukup sederhana seperti nasi yang diletakan pada piring dan sesaji tersebut diterangi oleh lampu minyak atau lilin.

Dalam kehidupan masyarakat Bentar masih terdapat pula kepercayaan terhadap benda-benda ataupun tempat tempat yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Bahkan biasanya orang yang mempunyai benda yang mempunyai kekuatan gaib sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat. Pada hari-hari tertentu[9] benda tersebut di beri sesajen. Menurut orang yang mempunyai benda tersebut sesaji itu diberikan atas dasar permintaan makhluk gaib yang menghuni benda tersebut. Banyak tempat yang dianggap sebagai tempat angker dan keramat, anggapan masyarakat terhadap roh jahat yang mengganggu pada kehidupan masyarakat masih melekat kuat.

Hal yang menarik adalah pada upacara pemakaman mayat. Apabila ada seseorang yang meninggal namun orang tersebut meninggal karena penyakit yang dianggap aneh, maka biasanya pada waktu mengiring mayat harus ada orang yang membawa kentongan bambu dan di pukul disepenjang jalan. Sedangkan apabila terdapat orang yang meninggal tapi mayat tersebut masih perjaka atau perawan maka disetiap perempatan yang dilewati harus menabur bunga dan puputrian.[10] Sedangkan dimakamnya dipasang bendera (bisanya bendera merah putih) dan janur yang terbuat dari daun kelapa muda. Hal tersebut dimaksudkan sebagai lambang pernikahan roh yang meninggal dengan puputrian tersebut.

Sedangkan hal yang dilakukan pada saat seorang isteri mengandung adalah melakukan ritual-ritual. Ritual tersebut seperti membacakan surat-surat yang terdapat dalam Al Kuran yang dibacakan oleh kiayi sebagai pemimpin dan para santri. Hal tersebut dimulai sejak usia kandungan berumur 4 bulan, dan 7 bulan. Ritual pada saat usia kandungan berusia 7 bulan disebut Tebus Weteng. Dalam proses ritualnya sama dengan waktu 4 bulanan, hal yang membedakan adalah dari segi makanan yang diberikan kepada santri terdapat Cowet.[11] Selanjutnya ritual tersebut dilakukan lagi pada saat anak tersebut berusia 7 hari dari hari kelahirannya, biasanya disebut sebagai sedekah Ngarupus[12].






BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Desa Bentar merupakan suatu desa yang terletak di Kecamatan Salem Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Masyarakat desa Bentar hampir seluruh memeluk agama Islam. Namun dalam kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan yang ada secara turun temerun. Pengaruh tersebut tergambarkan dalam kehidupan masyarakat desa Bentar.

Pengaruh kebudayaan Hindu ternyata masih melekat pada masyarakat islam di desa Bentar. Hal ini karena wujud dari kuatnya masyarakat menegang teguh hal yang dianggap adat istiadatnya. Pada hari raya islam selalu di barengi dengan upacara sesaji, begitu pula pada waktu-waktu tertentu yang dianggap penting selalu diadakan sesaji (sasajen). Selain itu masih banyak yang lainnya.

Perkembangan dan Akulturasi Islam di Indonesia
Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di mass media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia

Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda simak uraian materi berikut ini. Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini.


1. Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:

1.Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
2.Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.

Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:

Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.

Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.

Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.

Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia. Di pulau Jawa, peranan mubaligh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan walisongo yang merupakan suatu majelis yang berjumlah sembilan orang. Majelis ini berlangsung dalam beberapa periode secara bersambung, mengganti ulama yang wafat / hijrah ke luar Jawa. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham, kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya tentang periode penyebaran islam oleh para ulama/wali tersebut.

1. Periode I : Penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (-), Ahmad Jumadil Qubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasannudin, Aliyuddin dan Syeikh Subakir (-).

2. Periode II : Penyebaran Islam digantikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta), Ja’far Shiddiq (Sunan Kudus), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

3. Periode III : hijrahnya Maulana Ishaq dan Syeikh Subakir, dan wafatnya Maulana Hassanudin dan Aliyuddin maka penyebar Islam pada periode ini dilakukan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qashim (Sunan Drajat).

4. Periode IV : Penyebar Islam selanjutnya adalah Jumadil Kubra dan Muhammad Al-Maghribi dan kemudian digantikan oleh Raden Hasan (Raden Patah) dan Fadhilah Khan (Falatehan).

5. Periode V : Untuk periode ini karena Raden Patah menjadi Sultan Demak maka yang menggantikan posisinya adalah Sunan Muria.


Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari:

1.Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.

2.Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.

3.Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).

4.Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.

5.Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik).

6.Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.

7.Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.

8.Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.

9.Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon).

Sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.

Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah Anda pelajari pada modul sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

1. Seni Bangunan

Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut:

a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.

b. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.

c. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.

Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:

a. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.

b. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,nisannya juga terbuat dari batu.

c. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.

d. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).

e. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban.

Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).

2. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir.

Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Untuk hiasan pada gapura.


3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tandatanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.

Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.

Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:

a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah.
Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).

b. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah
contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.

c. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf
contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.

d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.

Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.
4. Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya. Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.

.5. Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Apakah sebelumnya Anda pernah mengetahui/mengenal hari-hari pasaran? Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).

Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan.

Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.

Demikianlah uraian materi tentang wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam, sebenarnya masih banyak contoh wujud akulturasi yang lain, untuk itu silahkan diskusikan dengan teman-teman Anda, mencari wujud akulturasi dari berbagai pelaksanaan peringatan hari-hari besar Islam atau upacara-upacara yang berhubungan dengan keagamaan.

Prolog
Indonesia, yang terletak persis di antara dua pertemuan; Hindia dan Pasifik serta Asia dan Australia, adalah sebuah bangsa yang majemuk dan beragam. Kemajemukan ini disebabkan oleh faktor geografis dan wilayah kepulauannya yang cukup luas.
Dari faktor geografis, bangsa Indonesia memiliki garis-garis pantai dan hutan-hutan tropis yang tersebar di kawasan seluas hampir 3000 mil. Sedang dari faktor wilayah, Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau yang bertebaran di sepanjang garis katulistiwa. Sehingga pada gilirannya, kedua faktor tersebut, secara tidak langsung telah membentuk kemajemukan bangsa ini dalam pelbagai hal, baik dalam tradisi-sosial, suku-ras, maupun agama-kepercayaan.
Pengaruh dua faktor ini sering pula dikemukakan oleh para peneliti asing (Indonesianis) dalam menyimpulkan sejarah perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Menurut mereka, keadaan geografis dan wilayah yang dimiliki oleh bangsa ini, telah membentuk keragaman dan perbedaan struktur masyarakatnya.
Secara sederhana, keragaman ini ditunjukkan setidaknya oleh tiga jenis kelompok masyarakat yang berkembang di seluruh wilayah Nusantara. Kelompok masyarakat pertama, adalah masyarakat yang hidup di daerah-daerah pedalaman dan kawasan-kawasan pegunungan yang terpencil. Masyarakat ini biasanya memiliki kepercayaan animisme dan komitmen kesukuannya sangat kuat.
Kelompok kedua, adalah masyarakat yang hidup di sepanjang garis pesisir, di mana jalur-jalur perdagangan laut telah memudahkan mereka untuk dapat mengenal dan bertukar kebudayaan dengan dunia luar. Sedangkan kelompok ketiga, adalah masyarakat yang dipengaruhi oleh struktur budaya keraton. Pada umumnya, kelompok masyarakat ini hidup dalam sebuah kota di sekitar kawasan istana yang mudah dijangkau. Sehingga memungkinkan mereka disebut sebagai kelompok elit yang memiliki kebudayaan tinggi.[1]
Dari tiga jenis masyarakat itu, Islam datang pertama kali ke bumi Nusantara melalui masyarakat kedua, yakni masyarakat yang hidup di sekitar daerah pesisir. Sebab, pola perdagangan yang terdapat di jalur-jalur pantai itu, telah berkembang menjadi pola hubungan timbal-balik dan pertukaran budaya antara masyarakat pesisir dengan para pedagang asing.
Oleh karenanya, adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pola hubungan perdagangan di sekitar daerah-daerah pantai itu, telah mengenalkan Islam sebagai agama kultural yang disebarkan dengan jalan damai, tanpa ada tendensi kekuasaan ataupun politik tertentu.
Agaknya, pola penyebaran ini yang menyebabkan Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Sebab dengan proses penyebaran yang kultural ini, Islam mampu berkembang dengan pesat dan bahkan, bagi masyarakat pesisir, Islam adalah bagian dari kehidupan mereka yang tak terpisahkan. Inilah sebabnya, mengapa masyarakat pesisir dikenal sebagai masyarakat yang berkomitmen kuat terhadap agama Islam.
Namun demikian, sepertinya perkembangan wajah Islam di negeri ini sama sekali berbeda dengan perkembangan Islam di wilayah-wilayah lain. Perbedaan ini menyangkut karakteristik dan cirikhas wajah Islam Indonesia yang tidak dijumpai pada wajah Islam manapun, termasuk di Timur Tengah.
Tentu saja, krakteristik yang dimiliki oleh Islam Indonesia ini memunculkan pelbagai pertanyaan menyangkut kemungkinan persenyawaan Islam dengan budaya setempat, sehingga menjadikan wajah Islam Indonesia berbeda dengan wajah Islam lainnya.
Sebelum membahas lebih jauh kemungkinan persenyawaan Islam dengan budaya bangsa ini, penting untuk menyebutkan terlebih dahulu asal-usul tradisi masyarakat Indonesia secara historis. Sebab, pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui Islam sebagai agama universal, yang mampu menyerap budaya lokal, dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, tanpa melalui perebutan kekuasaan sebagaimana yang terjadi di semenanjung Arab, Andalus, India dan juga termasuk di Asia kecil.
Di lain sisi, pembahasan ini terkait dengan periode awal perkembangan bangsa Indonesia. Di mana orang-orang Indonesia selalu saja menunjukkan kemampuannya dalam mengembangkan sintesis dan persenyawaan terhadap pengaruh budaya luar. Tidak hanya dengan Islam, dengan budaya Hindu dan Budha sekalipun, masyarakat Indonesia mampu menerima pengaruh itu tanpa mengesampingkan budaya aslinya. Aspek penerimaan ini, jelas mencerminkan sifat bangsa Indonesia yang dikenal menghormati bangsa lain, dengan menunjukkan sikap luwes, menerima budaya asing tanpa melakukan konfrontasi. Maka, di sinilah letak kreativitas dan karakteristik wajah keberagamaan orang-orang Indonesia yang sama sekali berbeda dengan cara keberagamaan bangsa lain.


Tradisi Pribumi; Wajah Kultural Masyarakat Indonesia

Berdasarkan penemuan-penemuan arkelologis dari beberapa daerah di Nusantara, wilayah yang kini disebut Indonesia ini pernah dihuni oleh salah satu ras tertua manusia prasejarah yang berumur kira-kira 40.000 tahun yang lalu.[2] Akan tetapi, dalam ilmu geneologis, sangat diragukan bila orang-orang Indonesia modern adalah keturunan dari manusia purbakala tersebut.
Hal ini selain disebabkan oleh lemahnya teori Darwin tentang asal-usul kejadian manusia, juga disebutkan bahwa manusia Indonesia sejak 600 tahun sebelum Masehi, telah mampu mengembangkan kebudayaan mereka dalam bercocok tanam dan menanam padi. Lebih dari itu, bahkan para peneliti menyakini orang-orang Indonesia kuno, telah mampu membina kekuatan sosial yang sangat besar, di antaranya adalah kekuatan maritim dalam mengarungi lautan Indonesia.
Dalam masalah tradisi, masyarakat Indonesia kuno dipengaruhi oleh kepercayaan animisme terhadap benda-benda. Yakni kepercayaan bahwa benda-benda mati di sekelilingnya, seperti, batu besar, kayu, gunung-gunung, pepohonan memiliki roh. Dan bahkan, mereka juga menyembah roh leluhurnya yang dianggap telah banyak berjasa terhadap kehidupan dan kesejahteraan mereka. Roh leluhur ini biasanya disebut sebagai hyang, atau yang, yang berarti Tuhan.[3]
Selain itu, masyarakat Indonesia kuno juga mempercayai akan kemampuan roh-roh tersebut untuk dapat menolong mereka dari penyakit, penderitaan, kematian dan segala mara bahaya dunia. Mereka juga percaya akan kekuatan roh yang dapat mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan dan kesuburan lahan yang mereka garap.
Tidak hanya itu, masyarakat Indonesia kuno bahkan meyakini bahwa alam semesta memiliki tatanan dengan kekuatan spiritual yang dapat mengendalikan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam buku Dynamics of Indonesian History, disebutkan bahwa orang-orang Indonesia kuno percaya akan kekuatan spiritual yang kadang-kadang dibagi ke dalam kekuatan-kekuatan lain. Dan setiap kekuatan, memiliki peran dan fungsi yang berlainan.[4]
Untuk menghormati roh-roh yang diyakini memiliki kekuatan spiritual itu, agar dapat mendatangkan kemakmuran dan menjauhkan mereka dari segala penderitaan, mereka menyiapkan ritual-ritual khusus yang dilembagakan dan dilaksanakan pada momen-momen penting. Misalnya, saat panen tiba, ketika bepergian, kelahiran bayi, pesta perkawinan, dan upacara kematian.
Sisa-sisa ritual kuno ini, sampai sekarang dapat kita saksikan dalam bentuk batu-batuan dan tempat peribadatan di beberapa daerah di wilayah Nusantara ini. Seperti yang terdapat di daerah-daerah tertentu di Jawa, penghormatan kepada danyang desa (roh pelindung desa) masih sering ditemukan dalam tradisi sebuah desa. Mereka biasanya meyakini, bahwa danyang desa yang telah berjasa membuka daerahnya itu, mengawasi gerak-gerik mereka setiap saat. Sebab itu ia harus dihormati dengan memberikanya sesajian lengkap bersama kemenyan yang diletakkan di sebuah pohon besar atau sendang yang diyakini sebagai tempat angker (tak dapat didekati).[5]
Dalam kurun berikutnya, sekitar abad pertama dan kedua Masehi, agama Hindu mulai diperkenalkan oleh para pedagang India melalui interaksi di jalur-jalur pantai Indonesia. Pada giliranya, kontak perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak ini mengakibatkan penetrasi agama Hindu ke dalam kultur-kultur masyarakat Indonesia.[6]
Pengaruh besar agama Hindu ini didukung pula oleh keinginan para pedagang untuk menetap dan melakukan perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Dan dengan demikian, secara tidak langsung, mereka kemudian mengalirkan kebudayaan Hindu itu kepada masyarakat sekitarnya.
Pada masa selanjutnya, beberapa orang Brahmana India yang diyakini sebagai pemilik kasta tertinggi dalam agama Hindu, datang ke Indonesia dengan memberikan legitimasi politik kepada para penguasa kerajaan-kerajaan awal Indonesia. Para Brahmana itu kemudian menanamkan keyakinan, bahwa raja-raja merupakan wujud reinkarnasi dari dewa-dewa Hindu, seperti, Brahma, Shiwa dan Wishnu. Dengan ajaran ini, agama Hindu pun semakin meresap dan menjadi agama masyarakat Indonesia. Sebab, dalam tradisi masyarakat Indonesia kuno, agama raja adalah agama rakyat. Karenanya, pada abad keempat Masehi, walaupun masih relatif kecil, kerajaan-kerajaan Hindu mulai banyak bermunculan, seperti kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, dan kerajaan Kutai di Kalimantan.[7]
Berbeda dengan agama Hindu, agama Budha datang ke negeri ini dengan misi yang lebih populer. Para pendeta Budha dari India itu, sekitar abad keenam Masehi, melakukan kunjungan resmi ke istana raja-raja Indonesia dengan mengenalkan ajaran Sidarta Gautama berserta hukum-hukumya. Setelah mendapatkan kepercayaan raja, dan dapat mengukuhkan pengaruhnya kepada keluarga keraton, mereka pun selanjutnya menyebarkan ajaran Budha ke daerah-daerah lain.
Menurut para sejarawan, kedatangan para pendeta Budha ke Indonesia ini berbarengan dengan migrasi besar-besaran para pendeta dan pemeluk Budha ke wilayah-wilayah lain. Diperkirakan migrasi ini disebabkan oleh tekanan agama Hindu yang sangat kuat terhadap para pemeluk Budha di negeri asalnya, India.
Dalam kurun yang tidak berapa lama, pengaruh Hindu dan Budha telah berhasil memberikan corak terhadap kerajaan-kerajan besar di Indonesia. Dua agama ini, pada masa selanjutnya, selalu saja saling mempengaruhi kekuasaan para raja di kerajaan-kerajaan awal Indonesia.
Sekitar tahun 600-an Masehi, muncul kerajaan Hindu besar pertama, yakni kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatra Selatan. Pada tahun 670 Masehi, kerajaan ini telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Budha Mahayana yang cukup disegani. Kekuasaannya mencakup sebagian besar pulau Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa kepulauan Malaya dan Borneo. Kerajaan ini mampu bertahan hingga tahun 1377 Masehi.[8]
Pada masa Sriwijaya, Indonesia mulai dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Budha. Di sana banyak didirikan wihara yang dihuni oleh ribuan Bhikshu yang berasal dari pelbagai daerah. Di dalamnya, selain diajarkan tentang agama Budha, para siswa juga dapat mengikuti pelajaran tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa kuno (Kawi). Di antara pujangga Budha masa Sriwijaya yang diabadikan dalam sejarah bangsa ini adalah Dharmapala dan Sakyakirti.[9]
Kerajaan besar kedua, Sailendra, berdiri pada tahun 732 Masehi di Jawa Tengah. Kerajaan ini menjadi pusat pengembangan bahasa Sansekerta, dengan menekankan pendidikan agama pada Shaivisme, satu bagian dari jenis Brahmanisme. Pada masa Sailendra ini, dibangunlah Candi Borobudur, yang hingga kini menjadi perlambang tentang tingginya nilai seni dan arsitek masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Pada tahun 930 Masehi, setelah Kerajaan Sailendra mengalami kemunduran besar, muncul Kerajaan Mataram di Jawa Timur. Kerajaan ini pernah berjaya di bawah kekuasaan Raja Dharmawangsa (990-1007 Masehi), yang berhasil menerjemahkan kitab Mahabarata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa dan huruf Jawa.
Pada abad selanjutnya, tepatnya tahun 1293 Masehi, muncul kerajaan Hindu yang paling memukau di Indonesia, yakni Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya. Dilihat dari ritual agamanya, Majapahit cenderung mengaktifkan kembali tradisi-tradisi asli Jawa. Oleh karena itu, Majapahit sering pula disebut sebagai kerajaan Hindu-Jawa.
Sekitar tahun 1350 Masehi, kekuasaan Majapahit berhasil melampaui kekuasaan Sriwijaya, dan bahkan menguasai seluruh kepulauan Indonesia, Malaka dan Borneo. Masa keemasan ini berlangsung pada tahun 1350-1389 Masehi, di bawah pemerintahan raja keempat Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Dalam sejarah, kebesaran ini merupakan wujud dari cita-cita luhur Perdana Menteri Gadjah Mada untuk menyatukan wilayah Nusantara.[10]
Akan tetapi, setelah Gadjah Mada meninggal pada tahun 1364 Masehi, kerajaan-kerajaan kecil yang semula bersatu di bawah naungan Majapahit, sedikit demi sedikit mulai melepaskan diri. Hingga pada tahun 1520 Masehi, kekuasaan Majapahit telah betul-betul runtuh oleh serangan kerajaan Demak yang berdiri tahun 1513 Masehi. Kedatangan Islam ini juga berakibat pada hilangnya kantong-kantong kebudayaan Hindu di daerah-daerah lain, dan bahkan tidak menyisakan ruang sedikitpun terhadap pertumbuhan budaya Hindu, kecuali hanya di Pulau Bali, satu-satunya tempat yang masih melestarikan kebudayaan Hindu Indonesia sampai sekarang.
Menyusul kedatangan dua agama itu, tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia juga mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Namun demikian, penting untuk disebutkan, bahwa pengaruh kebudayaan India (Hindu dan Budha) di wilayah Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad itu, ternyata sama sekali tidak menghilangkan tradisi asli masyarakatnya. Bahkan banyak dari ajaran-ajaran Hindu-Budha tersebut, dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan tradisi serta corak alam masyarakat Indonesia. Seperti pembagian Kasta dan konsep tentang kemurnian dari dosa, adalah salah satu jenis ajaran yang tidak musti diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, hanya beberapa saja dari ajaran Hindu-Budha yang diadopsi persis sebagaimana tradisi aslinya, seperti tradisi asketis (pertapaan) bagi orang-orang yang ingin belajar ilmu kanuragan di padepokan-padepokan yang terpencil di tengah hutan.
Memang, bila dilihat dengan kasat mata, pengaruh budaya Hindu-Budha di Indonesia dapat kita saksikan hingga saat ini. Peninggalan-peninggalan kuno yang berupa candi, seni arsitektur bangunan kerajan, tari-tarian, sastra, hingga kata-kata serapan dari bahasa Sansekerta adalah bukti dari kuatnya pengaruh Hindu-Budha yang bercorak khas India.
Akan tetapi, menurut Muhammad Naguib al-Attas, yang dikutip oleh Dr. Alwi Shihab, Ph. D., dalam bukunya, Membendung Arus, bahwa dalam masa dominasinya itu, agama Hindu dan Budha hanya tampil sebagai bentuk peribadatan khusus yang dimiliki oleh para pendeta dan mereka yang berada di lingkungan Istana.[11]
Karenanya, pengaruh dua agama ini hanya berhasil dalam tingkat suprastruktur yang dapat dijangkau oleh para penguasa saja. Sedang infrastruktur yang dikembangkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sama sekali tidak tersentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha ini. Sehingga, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya Hindu-Budha tidak sepenuhnya dirasakan sebagai agama yang memiliki nilai-nilai teologis dan filosofis.
Kenyataanya, masyarakat Indonesia lebih banyak tertarik pada nilai-nilai estetika yang dikembangkan oleh budaya Hindu-Budha, ketimbang nilai-nilai teologis dua agama itu. Buktinya, mereka banyak melakukan proses sinkretisasi. Tidak hanya antara budaya Hindu-Budha dengan budaya lokal, tetapi juga antara Hindu, Budha dan lokal sekaligus. Proses sinkretisme ini bisa dilihat, misalnya, dalam tulisan sakral Jawa; "Smaradahana Hyang Kamahayanika," yang tersusun dari ajaran Trimurti agama Hindu dan ajaran-ajaran Budha Mahayana, dengan penyusunan khas Jawa.
Agaknya, proses penyebaran yang hanya terbatas pada lingkungan keraton dan tradisi sinkretisme yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia ini, menyebabkan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad itu, dengan mudah dapat digeser oleh kebudayaan Islam.
Meskipun kedatangan Islam ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan kedatangan agama Hindu, tetapi jalur kultur yang ditempuh Islam relatif cukup lama, dibanding dengan jalur kekuasaannya. Diperkirakan, menurut catatan dari China, Islam datang ke Indonesia sejak abad ketujuh Masehi, kemudian tujuh abad berikutnya baru mampu mengembangkan diri menjadi kerajaan pada tahun 1275 di Pasai Aceh.
Selain sebab misi kultural yang dikemukakan di atas, tradisi masyarakat Indonesia juga mendukung untuk dapat berkembangnya persenyawaan kebudayaan-kebudayaan lain. Sikap umumnya orang-orang Indonesia yang luwes dan mudah menerima budaya asing ini, menyebabkan Indonesia kaya dengan tradisinya yang berbau sinkretisme.


Menelusuri Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Ada beberapa pertanyaan awal yang sering diajukan untuk menelusuri sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pertanyaan ini menyangkut tentang kapan, siapa dan dari mana datangnya Islam ke Indonesia? Bisa jadi pertanyaan ini muncul akibat dari sedikitnya karya-karya yang berbicara mengenai Islam di Indonesia, sehingga sulit untuk memastikan bagaimana sebetulnya perkembangan Islam Indonesia. Namun demikian, secara umum, beberapa karya awal sepakat menyatakan, bahwa Islam datang ke wilayah Nusantara melalui jalur-jalur pelayaran di sepanjang kepulauan Indonesia secara damai dan kultural, bukan dengan kekuatan politik sebagaimana yang terjadi di kawasan lain.
Sampai saat ini, pembahasan tentang kapan, siapa dan dari mana Islam datang ke Indonesia itu masih saja terus diperdebatkan. Setidaknya ada tiga versi yang sering menjadi rujukan utama penulisan tentang perkembangan Islam di Indonesia.
Versi pertama menyebutkan, bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari Persia sekitar abad ke-13 Masehi. Wilayah Samudra Pasai, diyakini sebagai tempat pijakan pertama. Menurut versi ini, adanya kesamaan tradisi beberapa kelompok masyarakat Islam dengan tradisi masyarakat Persia, adalah bukti kuat pengaruh Persia dalam Islam Indonesia. Sebut saja, misalnya, peringatan Suro, yang dilakukan pada setiap tanggal 10 Muharram, dan tadisi Tabut, yang dilakukan oleh sebagian penduduk Sumatra Barat, merupakan tradisi yang persis dilakukan masyarakat Iran untuk memperingati meninggalnya Sayyidina Husain. Lebih dari itu, ada beberapa bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa penduduk Pasai, seperti, Jabar dari Zabar dan Jer dari Ze-er.[12]
Sedang menurut versi kedua, Islam datang ke Indonesia pada abad ke-12 atau permulaan abad ke-13 Masehi. Pada masa ini, Islam dibawa oleh para pedagang anak benua India yang berasal dari Gujarat, Malabar dan Bengali. Versi ini dijelaskan oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden, yang kemudian dianut oleh Snouck Hurgronje.
Dalam pandangan Hurgronje, versi ini didasarkan pada pola hubungan kebudayaan yang sudah terjalin berabad-abad antara penduduk Indonesia dengan para pedagang dari India. Pengamatan Hurgronje ini juga bertumpu pada perilaku masyarakat Islam Indonesia yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Arab.
Berbeda dengan dua versi di atas, versi ketiga menyebutkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada awal abad ketujuh.[13] Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan langung dari Arab.
Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku tentang sejarah China yang berjudul Chiu T'hang Shu. Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni', sebutan untuk Amirul Mu'minin. Selanjutnya, buku ini menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni' itu merupakan utusan yang dikirim oleh Khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mu'minin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman Bin Affan.[14]
Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Dinasti Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China. Bahkan pada pertengahan abad ketujuh Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu.
Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal ini harus melewati jalur pelayaran Nusantara.
Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim ke China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya ingin mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu.
Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibn Abd. al-Rabbih, yang dikutip Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam bukunya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Ia menyebutkan, bahwa sejak tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz.
Selain di Zabaz atau Sriwijaya, daerah lain yang sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para delegasi muslim adalah Aceh, Minangkabau dan bahkan sampai ke pusat remah-rempah, Maluku. Di sana mereka melakukan dakwah dan mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat sekitarnya. Sebab, banyak dari delegasi-delegasi tersebut adalah seorang da'i yang khusus dikirim Khalifah untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat Timur Jauh, termasuk Indonesia.
Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan, bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatra saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada periode berikutnya, proses islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat.
Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni dengan melekatkan nilai-nilai Islam pada praktek dan kebiasaan tradisi setempat.[15] Sehingga tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa.
Tradisi dan praktek yang sering menjadi lahan dakwah ini antara lain; pengobatan, bercocok tanam, perdagangan, kesenian dan kebudayaan, hingga sosial kemasyarakatan, dan bahkan pemerintahan. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, misalnya, memiliki keahlian dalam tradisi pengobatan, sehingga beliau diangkat menjadi "tabib istana" Kerajaan Hindu Majapahit. Raden paku atau Sunan Giri, yang disebut oleh Belanda sebagai "Paus dari Timur," merupakan pencipta lagu rakyat Pucung dan Asmarandana. Begitu pula dengan Sunan Kalijaga, beliau adalah pencipta lagu yang paling populer dalam sejarah rakyat Jawa, Lir-ilir. Sunan Kudus juga memiliki keahlian serupa dalam menciptakan lagu-lagu Maskumambang dan Mijil. Dan Sunan Muria adalah tokoh yang menggunakan gamelan untuk menarik masyarakat agar masuk Islam. Lagu-lagu Jawa Sinom dan Kinanti adalah hasil gubahan beliau.[16]
Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat pengkaderan para santri. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedaton, adalah dua lembaga pendidikan paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.

Dengan kehadiran Wali Songo ini, bukan hanya dominasi budaya Hindu-Jawa yang mengalami kehancuran, malainkan juga membuka kurun baru bagi berlangsungnya kebudayan Islam di Indonesia. Pada zaman ini, masyarakat Jawa menyebutnya sebagai jaman kuwalen (zaman para Wali).

Islam Pribumi; Wajah Pergumulan Islam dan Tradisi di Indonesia

Telah disebutkan di muka, bahwa proses keberhasilan Islam di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki pengaruh tradisi Hindu-Budha sangat kuat, adalah merupakan hasil dari kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Islam terhadap tradisi setempat yang sebagian asli dan sebagian lagi Hindu-Budha. Karena itu, dalam keberagamaan umat Islam Indonesia, ajaran-ajaran Islam sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya. Dan dengan demikian, menjadikan wajah Islam Indonesia berbeda dengan wajah Islam manapun.
Selain faktor kelonggaran itu, beberapa faktor lain juga turut mendukung tersebarnya Islam secara luas di kalangan masyarakat Indonesia. Faktor-faktor itu antara lain: hubungan politik (diplomatik), perdagangan, perkawinan, sikap perlawanan terhadap penjajah Portugis dan tasawuf. Dari semua faktor tersebut, menurut para sejarawan, tasawuf merupakan faktor paling dominan dalam keberhasilan penyebaran Islam Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penafsiran para kaum sufi terhadap ajaran-ajaran Islam, sangat sesuai dengan latar belakang mistik masyarakat Indonesia.[17]
Oleh sebab itu, meskipun Islam adalah agama mayoritas penduduk bangsa ini, akan tetapi tampak praktek-praktek yang dilakukan oleh mereka sangatlah bervariasi. Antara komunitas satu dengan komunitas lainnya atau antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, terdapat keragaman cirikhas yang berbeda.
Namun demikian, secara general keragaman variasi tersebut dapat diidentifikasikan menjadi dua komunitas besar. Daerah-daerah di mana kebudayaan Hindu-Budha sangat berpengaruh, telah berperan penting dalam pembentukan komunitas yang pertama, yakni komunitas yang disebut sebagai abangan. Pada masyarakat ini, Islam cenderung melakukan kompromi dengan budaya lokal dan budaya-budaya lain yang datang sebelum Islam. Komunitas ini, misalnya, banyak ditemukan di daerah-daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Komunitas yang kedua, adalah komunitas yang biasa disebut sebagai santri, yakni mereka yang memiliki komitmen kuat terhadap Islam, dan dengan sepenuh hati mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sosial mereka, tentu saja pengamalan ini terbatas pada tradisinya masing-masing. Komunitas ini banyak terdapat di daerah-daerah yang kurang mendapat pengaruh budaya Hindu-Budha, seperti daerah-daerah di sepanjang jalur pantai utara Pulau Jawa.[18]
Pada hakekatnya, melihat corak keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang lebih mempertahankan praktek budaya aslinya, penulis cenderung menilai bahwa pengaruh ini akibat dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam. Maksudnya, Islam pada tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi budaya lain, bukan pihak yang mengubah atau mengkonversikan budaya itu.
Ini misalnya dapat dilihat dari realitas empiris sejarah perkembangan Islam di Jazirah Arab. Sebab, perlu disebutkan, bahwa semenjak Islam muncul dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab, transformasi atau perubahan sosial itu telah terjadi secara cepat dan besar-besaran, baik dilihat dari sudut pandang kehidupan keagamaan maupun kehidupan sosial, budaya dan politik masyarakat Arab. Inilah bentuk transformasi sosial dari adanya akomodasi Islam era pertama.
Meskipun banyak kalangan yang meragukan kemungkinan akomodasi Islam dengan modal sosial tradisi Arab tersebut. Akan tetapi kenyataan membuktikan lain, justru nilai universalitas Islam semakin teruji tatkala ia mampu melakukan akulturasi dengan sosial-budaya masyarakat setempat.
Isyarat akulturasi ini dapat dilacak pada ayat-ayat madaniyah yang memiliki kandungan berbeda dengan ayat-ayat makkiyah. Pasalnya, ayat-ayat makkiyah (yang turun di Makkah), secara umum lebih banyak menjelaskan tentang dimensi ilahiah sebagai nilai fundamental Islam yang sifatnya ilahiyah, doktrinal dan kekal. Sedang ayat-ayat madaniyah (yang turun di Madinah), bisa dibilang merupakan ayat paralelisme nilai-nilai fundamental Islam dengan modal sosial yang dimiliki masyarakat Yatsrib, yang –tentu saja– secara umum bersifat lokal dan temporal. Sehingga tampak ayat-ayat Madinah itu diciptakan oleh ruang, oleh waktu dan oleh interaksi antara Nabi saw. dengan masyarakat Yatsrib masa itu. Akibatnya, munculah sintesa umum; yang menyatakan bahwa ayat-ayat Madinah adalah ayat yang paling banyak dan paling terbuka untuk dieksplorasi serta diinterpretasi secara luas.
Dalam pandangan para ahli fiqh (fuqahâ'), misalnya, hanya Imam Malik yang tidak mengambil sintesa tersebut. Menurut beliau, Islam dan Yatsrib-Arab tidak bisa dipisahkan, karena bisa jadi transformasi sosial masyarakat Madinah yang telah dibentuk Nabi itu, sudah take for granted dari Islam. Agaknya pemahaman Imam Malik ini membawanya pada sebuah kesimpulan; transformasi sosial (amalan) ahli Madinah adalah salah satu dasar atau pijakan pengambilan hukum (istinbâth). Padahal tidak demikian menurut para imam madzhab lainnya.
Kesepakatan para ulama untuk menerima sintesa ini menunjukkan, bahwa Islam yang berkembang pada masa Rasulullah saw. adalah juga hasil dari proses dialektika antara wahyu dan tradisi lokal masyarakat Arab. Karena itu, mereka merumuskan dalam ilmu-ilmu Alquran, misalnya, konsep-konsep yang berhubungan dengan tradisi. Konsep itu antara lain; asbabun nuzul (sebab diturunkannya wahyu), yakni konsep yang menunjukkan tentang keterkaitan turunnya wahyu dengan suatu tradisi atau konteks tertentu. [19] Selain itu, ada pula konsep Naskh, yang menyatakan tentang pembatalan sebuah wahyu atas wahyu yang lain disebabkan oleh perubahan konteks sosial tertentu.[20] Maka, dalam masalah ini, ajaran Islam mestinya dapat dipahami sebagai jawaban atas kebutuhan dan problem yang dihadapi masyarakat.
Mengenai proses kompromi yang terjadi antara Islam dengan tradisi-tradisi itu, ajaran-ajaran yang ditekankan dalam Islam cukup hanya berperan dalam kerangka untuk memberikan pondasi dasar terhadap tradisi-tradisi tersebut. Bahkan terhadap tradisi yang adiluhur dan sesuai dengan faktor lingkungan masyarakatnya, Islam tidak merasa perlu untuk melakukan islamisasi. Islam justru akan memberikan wewenang lebih besar bagi tradisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam itu untuk berperan dalam menentukan sebuah hukum. Inilah yang dimaksud dalam rumusan kaidah fiqh, al-âdah al-muhakkamah, sebagai salah satu sumber hukum Islam.[21]
Sedangkan terhadap tradisi sosial yang aniaya, zalim dan menyalahi nilai-nilai kehidupan, Islam dengan tegas menolaknya, dan kemudian memberikan batasan-batasan konstruktif –melalui pendekatan budaya– yang sesuai dengan etika dan norma kemanusiaan.[22] Sehingga Islam tidak sampai terkesan 'menghakimi' tradisi sosial itu sebagai obyek, namun sebaliknya, sebagai subyek untuk menciptakan sendiri bentuk yang sesuai dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Maka, di sinilah letak kelenturan Islam ketika bersinggungan dengan suatu tradisi.
Pada gilirannya, kemampuan Islam untuk menyerap segala bentuk tradisi yang datang dari pelbagai wilayah yang dimasukinya, telah menjadikan kebudayaannya semakin kaya dan beragam. Dan bahkan dalam kadar tertentu, penyerapan ini menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Dan dengan demikian, akan semakin meneguhkan Islam sebagai agama yang universal, kontekstual dan sesuai dengan kondisi zaman dan tempat.[23]
Dalam konteks keindonesiaan, berbeda dengan Hindu dan Budha yang datang ke Indonesia dengan memindahkan simbol-simbol India yang berupa budaya "stupa," Islam datang tidak dengan membawa simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah, bahkan dalam proses penyebarannya, Islam cenderung melakukan akomodasi dan penyerapan terhadap kultur penduduk setempat.[24] Contoh paling populer untuk menunjukkan kecenderungan ini adalah adanya tradisi keberagamaan yang dilakukan oleh ormas Nahdlatul Ulama dengan Tahlil dan Manaqibnya, semaraknya tradisi pendidikan agama yang berupa pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, serta wujud seni arsitektur dalam membangun Mushala dan Masjid yang berbeda dengan arsitektur Masjid di Timur Tengah.

Epilog
Meski Islam datang pertama kali di kawasan Jazirah Arab, di mana pada tingkat tertentu pengaruh kehidupan tradisi Arab tidak bisa dihindari. Akan tetapi, memaksakan Islam yang sepenuhnya sesuai dengan budaya lokal masyarakat Arab itu jelas bukan menunjukkan nilai universal Islam yang sebenarnya. Malah terkadang pemaksaan terhadap budaya Arab justru akan menyebabkan tercerabutnya masyarakat dari akar budayanya sendiri.

Oleh sebab itu, penting untuk disebutkan, bahwa Islam yang kini menjadi agama masyoritas masyarakat Indonesia, merupakan hasil dari proses panjang pengalaman inkulturasi budaya –yang tentu saja– mengilustrasikan adanya sebuah dialektika intensif antara ajaran-ajaran inti Islam dengan tradisi dan tata nilai masyarakat Indonesia. Sehingga Islam tampak sebagaimana tradisi asli yang sulit untuk dihilangkan begitu saja.
Maka, wajah Islam yang mengalami inkulturasi dengan sebuah tradisi tertentu akan mengandaikan dua hal yang menunjukkan tentang intensitas Islam sebagai agama universal. Pertama, interpretasi terhadap ajaran Islam akan dipahami sesuai dengan konteks zaman dan tempat di mana ia berkembang. Kedua, ajaran Islam akan tampak lebih dinamis dan progresif dalam merespons tantangan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dan dengan demikian, Islam dapat menjadi inspirator dalam setiap perubahan sosial sebuah masyarakat. Wa Allâhu A'lam Bi al-Shawâb.

KEBUDAYAAN HINDU DI INDONESIA, KONSTRIBUSINYA TERHADAP PEMBANGUNAN

Oleh: Ni Made Putri Mas, S.Sos.

Usaha-usaha melakukan pembangunan dan modernisasi dalam mengisi kemerdekaan, menghadapkan kita secara langsung dengan masalah-masalah kebudayaan Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya. Dengan proses kebudayaan itu kita sebagai bangsa memperbaharui diri menjawab beerbagai tantangan-tantngan kehidupan yang dipandang lebih modern atau lebih maju dari sebelumnya. Dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern telah menimbulkan berbagai opini dan diskusi-diskusi, dialog-dialog di kalangan masyarakat umum tentang perlunya mempertahankan keperibadian bangsa dan untuk di Bali mempertahankan ajeg Bali dalam menghadapi perobahan-perobahan sosial yang sangat luas dan mendalam serta dalam menghadapi pengaruh kebudayaan dari luar dalam berbagai bentuk termasuk gaya hidup, pola-pola konsumsi, tehnologi dan ilmu pengetahuan serta impact komunikasi massa yang menggelobal menerpa kita.Disamping itu kita sangat sadar berada dalam masyarakat yang pluralistis baik dilihat dari sudut suku, golongan, agama dan daerah, dimana golongan-golongan yang ada tidak sama kemampuan dan kecepatan serta ketepatan untuk menyesuaikan diri dan memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru atau membela diri terhadap aspek-aspek negatifnya; masalah persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI merupakan suatu masalah yang terus menerus memerlukan perhatian dan usaha-usaha yang efektif.Hal ini mengingat kontinuitas kebudayaan Indonesia memiliki kemampuan untuk menyinari dan membimbing proses pembangunan dan modernisasi yang kita lakukan sehingga dapat menjaga dan memperkuat keperibadian Nasional bangsa Indonesia. Bertitik tolak dari suatu teori informasi bahwa kebudayaan sebagai siasat manusia untuk menghadapi masa depan. dan Kebudayaan sendiri merupakan proses pembelajaran suatu “ learning proses “ yang terus menerus sifatnya. Didalam proses ini bukan saja diperlukan kreativitas dan inventivitas sebagai factor yang penting, melainkan ke dua factor tersebut saling kait mengkait dengan pertimbangan-pertimbangan ethis. Tanpa penilaian ethis manusia tidak akan dapat mengambil tanggungjawab untuk keadaanya untuk tehnologi yang dipakai dan dikembangkan, maupun untuk struktur sosial dan bentuk–bentuk organisasi yanmg diperlukan. Penilaian ethis ini sesungguhnya dapat membuka mata manusia untuk melihat berbagai kemungkinan yang baruyang melampaui keadaan yang ada dan justruminilah sebagai jalan manusia kea rah pertanggungjawabanmpenuh sebagai manusia yang bebas, dewasa yang berpancasila. Pandangan Van Peursen terhadap kebudayaan secara fungsionil dengan pengelihatannya kepada kreativitas dan inventivitas kepada hari depan sebagai kategori-kategori ethis sangat membantu kita dalam menghadapi masalah-masalah kebidayaan dalam masa pancaroba dalam pembangunan dan reformasi yang sedang bergulir. Cara pandang ini dapat membantu kita untuk menghadapi berbagai masalah pembangunan dan modernisasi sesuai dengan naluri dan keperibadian bangsa Indonesia.Dalam perjalanan pembangunan dan reformasi ini manusia Indonesia tidak semata-mata menjadi obyek yang dimanipulasi, melainkan tetap ajeg merupakan pangkal dan tujuan dari pada usah pembangunan yang berkelanjutan yang sedang berjalan, disamping itu memungkinkan kita untuk tidak menjadi budak dari pada tehnologi,lembaga-lembaga yang kita pakai, melainkan kita dapat menjinakkannya untuk melayani tujuan-tujuan ethis dari pada pembangunan dan perjuangan bangsa sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pancasila dasar NKRI yang kita cintai.Demikianlah dapat dicari benang merahnya yang berkaian dengan usaha pembangunan dengan moralitas pokok bangsa Indonesia. Pemahaman akan pendekatan fungsionil terhadap poerjalana kebudayaan juga besar manfaatnya dalam usaha-usaha kita menyelenggarakan pembangunan dan modernisasi tanpa diskontinyuitas kebudayaan, serta dalam ihktiar dan diskusi kita tentang penerusan nilai-nilai bangsa kepada generasi penerus, karena fungsionil sifatnya juga dapat membantu kebudayaan-kebudayaan daerah untuk menempatkan diri secara lebih sadar dan jelas dalamarus pembangunan dan proses kristalisasi kebudayaan bangsa Indonesia modern ke depan. Untuk dapat lebih memahami perjalanan kebudayaan tersebut agar dapat menumbuhkan rasa memiliki kebinekaan bangsa Indonesia, penulis sajikan penelusuran sejarah yang juiga dapat disebut zaman sejarah Indonesia dimulai setelah diketemukan peninggalan-peninggalan dalam wujud tulisan. Sebelum diketemukan adanya penginggalan-peninggalan dalam bentuk tertulis, tergambar maupou terpahat pada batu atau pada benda fisik tertentu di sebut sebagai zaman prera sejarah[ zaman sebelum ditemukan tulisan, gambar, tanda-tanda tertentu yang memiliki makna dalam kehidupan pada zamannya ]. Sampai saat sekarang yang dipandang sebagai penemuan pertama suatu prasasti yang berbentuk tugu peringatan di sebut juga sebagai Yupa di daerah Kutai Kalimantan Timur. Yupa menandakan disana pernah ada suatu upacara kurban yang cukup monumental yang bertuliskan memakai huruf Palawa. Huruf PALAWA tersebut dengan bahasa Sansekerta yang lazim dipergunakan di kawasan India Selatan. Suatu Yupa dengan huruf palawa dan bahasa Sansekerta dapat memberikan pemahaman sebagai bukti bahwa bangsa yang memeluk agama Hindhu yang menjadi petunjuk mengantarkan ke jaman sejarah nusantara Indonesia. Jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan yupa kutai memberi petunjuk upacara kurban yang dilakukan Brahmana pada suatu areal tempat suci yang bernama Waprakeswara. Upacara kurban dilakukan Brahmana ataas perintah raja Mulawarman.
Dok.BITD

Kebudayaan Hindu merupakan kebudayaan tertua di Indonesia, bahkan di dunia, adalah sebuah kebudayaan dengan konsep dasar "keharmonisan" pada setiap lini kehidupan.

Mulawarman adalah cucu Kundunngga yang pernah memerintah atau menjadi raja di Kutai. Menurut Prof. Dr.R.M Purbacaraka beliau berpendapat bahwa Kundungga bukan nama berasal dari India, melainkan nama setempat yakni suku Kutai di Kalimantan Timur, kemudian cucu-cucunya menjadi raja di Kutai baru mempergunakan nama-nama seperti nama raja-raja hindhu di India. Hal ini dapat ditelusuri dan dijumpai dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Pada saat pengaruh agama Hindu besar maka nama-nama pimpinan disaat itu mempergunakan bahasa Sansekerta seperti Wijaya, Kusuma, Warman, Bairawa dan sebagainya. Berbagai kebesaran zaman hindu masih kita bisa saksikan Cndi Prambanan, Candi Sewu, demikian juga pada zaman kebeara agma budha sepertyi candi Borobudur, candi mendut dsbnya.Singkat cerita kemudian masuknya agama Islam ke Indonesia mewarnai nama-nama tokoh bangsa kita seperti : Muhamad,Ibrahim,Yusuf.,. Daud dan sebagainya.
Demikian juga pada saat agama Kristen berkembang di Indonesia ada nama-nama : Yesus, Maria , Petter dan sebagainya,juga pada saat kejayaan agama Budha muncul nama-nama: Budagautama, Sidarta,Samanera dan setrerusnya.

Khusus bagi Agama Hindu bersinergi dengan sangat harmonis dalam kehidupan masyarakat dikala itu semenjak awal awal perkembangannya yakni di Kerajaan Kutai Kalimatan Timur dimana rajanya berasal dari penduduk asli dan melaksanakan upacara agama hindu untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Pengaruh yang sangat menonjol dari nilai-nilai hindu terhadap kebudayaan asli dan dengan serasi tanpa gejolak melaksanakan upacara agama melakukan penyembahan terhadap para dewa. Meskipun demikian kepercayaan asli yakni animisme dan penyembahan para leluhur tetap berlanjut bersinergi dan bersintesa dengan amat baik dengan pemujaan terhadap para dewa Hindu. Salah satu dampak jangka panjang dari akulturasi ini terjadinya kesiambungan yang berlanjut kehidupan budaya beserta dengan pencerahannya. Dilihat dari perkembangan dan kehidupan budaya masyarakat nusantara /Indonesia telah memiliki beberapa unsure kebudayaan sebelum masuknya pengaruh agama Hindhu, seperti yang dikemukakan ilmuwan kesohor Dr.J.L.A.Brandes antara lain:

Astronomi
Menanam padi di sawah
Birokrasi pemerintahan
Ilmu pelayaran
Sistim mata uang
Membatik
Mengerjakan logam
Gambelan
Irama sanjak
Wayang

Apa bila kita telusuri lebih mendalam bilanglah unsure wayang sangat jelas telah terjadi akulturasi atau perpaduan yang harmonis yang sangat dipengaruhi nilai Hindu, dengan lakon epos Mahaberata dan Ramayana yang mendominasi pergelaran wayang di Indonesia. Epos tersebut sarat dengan tuntunan yang mampu membimbing umat untuk berbuat kebajikan dan kebaikan dialam kehidupan lahiriah dan menjauhi ketidak baikan dan pada akhirnya kebaikan itulah yang akan menang karena sesuai dengan ajaran sang pencipta Tuhan yang Mahaesa. Catatan sejarah menunjukkan bahwa istana menjadi pusat pembinaan dan pengembangan kebudayaan semenjak dari kerajaan Kutai semenjak ratusan tahun yang silam. Melalui pendekatan palaeografis jakni hurup Palawa yang tersurat pada Yupa. Kemudian setelah Kutai pengaruh Hindu lebih lanjut berkembang di Jawa Barat dengan adanya kerajaan Tarumanegara yang dipimpin oleh raja Purnawarman. Atas dasar pendekatan palaeografis hurup palawa yang terdapat diberbagai prasasti-prasasti yang diketemukan kerajaan Tarumanegara diperkirakan berdiri sekitar tahun 500. Raja purnawarman yang dilukiskan sebagai Dewa Wisnu darisudut pandang kebudayaan raja Purnawarman sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat, beliau memerintahkan rakyatnya untuk menggali sunagai Gomati sepanjang 6122 busur atau 12 Km untuk keperluan pertanian.
Berbagai peninggalan benda-benda budaya apakah dalam bentuk istana, candi-candi sebagai tempat pemujaan Tuhan, tembikar,perhiasan dari emas, senjata tombak maupun keris dan sebagainya sudah tentu ada yang setengah baik dan ada yang rusak maupun ada yang hilang. Kebudayaan yang sangat kental dipengaruhi dan dijiwai nilai-nilai agama Hindu lebih lanjut berkembang di jawa tengah dengan diketemukan prasasti Tuk Mas, sebuah desa di kaki Gunung Merbabu yang juga memakai huruf palawa yang bentuknya lebih muda dari yang diket 3 bulan lalu

Bagaimana Islam Berproses Di Indonesia?
Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa masuknya Islam ke Indonesia (baca: Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalur kultural ketimbang aksi kekerasan. Mulai dari era dakwah para saudagar Arab dan Gujarat, bahkan komon termasuk para pedagang Cina, di wilayah-wilayah pesisir Nusantara pada abad ke-7. Banyak artefak dan dokumen sejarah membuktikan bahwa pada masa itu secara pelan Islam merasuki wilayah nusantara ini. Bahkan diasumsikan pada masa itu kontak perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara khususnya Airlangga dan Singosari dengan Tiongkok telah terjalin dengan baik. Meskipun secara pelan, justru para penyebar Islam itu tidak memiliki tendensi secara praktis sebagai salah satu ekspansi politik.  Tidak ada sebuah data sejarah yang menjelaskan terjadinya perebutan suatu wilayah oleh penyebar Islam melalui peperangan seperti yang terjadi di Timur Tengah.
 Setelah para penyebar itu menjalin hubungan yang baik dengan tradisi kultural masyarakat saat itu dengan memperlihatkan kesantunan ajaran serta perilaku-perlaku yang meneduhkan, Islam meluas hingga ke pusat-pusat kekuasaan kerajaan. Ini terbukti, bagaimana Sunan Ampel sangat dekat dengan raja Brawijaya di era Kerajaan Majapahit. Kiprah Sunan Ampel telah mengantarkan Walisongo memiliki peranan penting perkembangan Islam selanjutnya. Islam telah merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa bahkan menyebar ke seluruh Nusantara. Keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya. Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkan darah.
Bahkan sewaktu komunitas muslim terbentuk di wilayah Demak, tepatnya di daerah Glagahwangi, tak ada bukti sejarah yang menceritakan penguasaan wilayah itu melalui peperangan. Hingga komunitas itu mendapatkan momentumnya menjadi sebuah kerajaan Baru dengan hancurnya kerajaan Majapahit. Seketika itu juga Walisongo mengukuhkan Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V menjadi rajanya. Sejarah barangkali memetakan bahwa kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, tapi meragukan bagi kita bahwa kerajaan itu benar-benar menjadi kekhalifahan sepertihalnya imperium yang ada di pusat Islam, Timur Tengah. Benar bahwa Islam saat itu telah menjadi kekuatan politik yang cukup penting, tapi bukan berarti para Walisongo bermaksud mendirikan Kerajaan Islam yang kemudian melakukan ekspansi pengislaman wilayah-wilayah lainnya. Benar, pemegang tampuk kekuasaan dan para menterinya muslim tapi tidak ditemukan data sejarah jikalau mereka menerapkan sistem kekhalifahan atau menerapkan syari?at Islam secara formal. Ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, kenapa bukan anggota walisongo yang menjadi rajanya, tapi Raden Fatah yang masih memiliki kesinambungan dengan raja-raja Nusantara, khususnya Majapahit?
Ini artinya Islam bukan menjadi ideologi politik yang harus diperjuangkan secara politis, tapi sebagai sumber nilai dan norma-norma untuk menjalankan perilaku-perilaku para pemegang kekuasaan. Kita bisa membaca bagaimana bentuk kerajaan dikonstruksi dan bagaimana telah terjadi proses saling mengambil, belajar serta dialog antara nilai Islam dan manifestasi budayanya. Para walisongo sangat hati-hati menancapkan bentuk-bentuk keberagamaan bagi rakyat dengan menyelaraskan tingkap pengetahuan dan budaya saat itu. Munculnya kasus Siti Jenar sebaiknya dipahami dalam konteks penyelarasan yang memang saat itu sangat penting bagi komunitas muslim yang masih baru terbentuk. Proses penyelarasan bukan berarti ?penyeragaman? namun penekanannya lebih pada kesesuaian dan ketepatan mengajarkan keislaman bagi masyarakat yang berbeda-beda tingkat pengetahuannya.
Strategi yang kemudian oleh para sejarawan lebih dikenal dengan strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi proses-proses inkulturasi dan akulturasi. Hal yang sama juga terjadi di Samudera Pasai, Sumatera  dengan konteks historis dan budayanya. Namun, di Sumatera memiliki warna yang lebih integratif antara Islam dan adat setempat. Proses akomodatif dan integratif ini merupakan upaya-upaya dialogis dan toleransi yang dikedepankan oleh penyebar Islam. Peperangan-peperangan yang terjadi lebih disebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan oleh agama. Sekali lagi, tidak ada dokumen sejarah yang menjelaskan bahwa terjadi ekspansi secara paksa dengan kekerasan dan peperangan yang dilakukan oleh penyebar Islam awal.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Pada periode berikutnya, ketika imperalisme Barat mulai bercokol di bumi Nusantara ini, masyarakat muslim menjadi tantangan strategis bagi mereka. Kolonialisme yang telah melakukan praktik-praktik penindasan, kekerasan dan penguasaan secara paksa mengantarkan masyarakat muslim melakukan perlawanan. Namun, dalam  konteks penyebaran Islam tetap melakukan proses-proses inkulturasi dengan budaya setempat, dengan keberagamaan lainnya yang ada di bumi Nusantara. Jadi, secara kultural tidak menjadi problem bagi perkembangan Islam.
Persoalan muncul justru dari keberbedaan secara politis menyikapi para kolonialis. Seperti yang ditunjukkan ketika penguasa suatu kerajaan di Nusantara berpihak kepada kepentingan kolonialis, kemudian membawa masyarakat Islam terpecah-pecah. Keterpecahan yang semula secara politis kemudian mengarah ke arah perbedaan keberagamaannya. Berdirinya organisasi keberagamaan Muhammadiyah dan NU dapat dibaca dalam konteks ini. Dampak kolonialis yang telah memecah-mecah komunitas Islam itu terlihat jelas ketika terjadi perdebatan sengit penyusunan dasar negara Indonesia tentang penerapan syari?at Islam. Saat itu terlihat dua arus besar, arus puritanisasi (pemurnian) Islam dan arus moderasi Islam. Namun, demi kemerdekaan Indonesia mereka harus menyatukan visi dan arah perjuangan.
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang lahir sebelum 1945 yang didirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar negeri selalu mengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde cita-cita yang ingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri, membangun basis gerakan dan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, dasar negara tidak perlu mencantumkan berlakunya syari?at Islam.
Meskipun demikian bukan berarti arus puritanisme Islam padam. Sejarah mencatat beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di berbagai daerah di Indonesia. Belum padamnya arus puritanis Islam itu mengemuka kembali ketika arus modernisasi masuk ke Indonesia. Respon dan penyikapan setiap komunitas Islam terhadap modernisasi pada akhirnya mewarnai proses perkembangan Islam di Indonesia. Kita bisa menyimak bagaimana pada tahun 70 dan 80-an kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap di atas menunjukkan bahwa pandangan Islam terhadap negara yang ketika itu sebagai fenomen modernitas paling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari bentuk Islam melainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan sebagai alternatif dari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling siginifikan antara modernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah apakah masing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu dalam konteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan yang esensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan tuntutan orang per orang umat?menurut fiqh?yang terrepresentasi dalam keabsahan pernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dan kepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagi berlangsungnya dua hal di atas.
Dalam konteks inilah sebenarnya pesantren memiliki peran yang penting sebagai benteng perjuangan kemerdekaan politik tersebut. Pesantren adalah salah satu segmen dalam masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan bisa disebut subkultur, sebuah kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya sendiri sebagai bagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada umumnya di pedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam) tradisional, maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang secukupnya. Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya pun kurang diperhitungkan karena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika kelompok tradisionalis yang cukup banyak pengikutnya ini menggeliat merespon kemodernan dengan kekuatan tradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya terhadap gejala kemodernan. Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke khittah 26 dan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan menggeser Islam Ahlusunnah Waljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu kelompok-kelompok Islam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya dengan keras menyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat yang dilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihak memberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan di lain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Pengamatan sepintas, akan menggiring orang pada anggapan bahwa seolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa ketika itu yang represif dan tidak memberikan pilihan kepada kelompok-kelompok sosial untuk memilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa baik untuk tetap bernaung di bawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur adalah sama-sama harus mengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya sebagai sikap kreatif untuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di satu pihak dan menuntut kemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki dasar-dasar paham keagamaan dan tradisinya sendiri di dalam NU. Kembali kepada khittah 26, sesunggunya merupakan transformasi lanjutan dari apa yang telah diperjuangkan NU sejak berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruh ekternal dan internal dalam perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasi apapun. Tetapi, tampaknya, untuk menanggapi itu semua pesantren/NU  lebih mengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang pencomotan tradisi lain dengan penuh kekaguman.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong terbangunnya para ulama tradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang tajam dan terus menerus oleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial Belanda melakukan represi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi sementara kalangan Islam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek keagamaan. Semua ini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat luas, yaitu kemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik, serta kegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam masyarakat maupun dalam pertemuan-pertemuan kongres Al-Islam?sebuah kongres yang diikuti oleh sebagian besar kelompok-kelompok Islam di nusantara?antara kelompok Islam modernis dan Islam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di kalangan Islam yang sedang hangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam internasional sehubungan dengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh penguasa Kemalis Republik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang representasi Islam untuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping kecaman dan bahkan pengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi ritual lokal yang juga dipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Dengan demikian, kehadiran Islam yang kini menjadi agama mayoritas di Indonesia sulit disangkal merupakan hasil dari proses panjang penetrasi budaya yang tentu saja mengandaikan adanya sebuah dialog intensif di dalamnya antara doktrin-doktrin agama itu sendiri dengan beragam tradisi dan tata nilai lokal yang lebih dulu hidup dan dianut banyak orang. Kendati agama nabi Muhammad tersebut awalnya datang dari daratan Timur Tengah, yang penampakan historisnya pada tingkat tertentu tidak mungkin steril dari pengaruh gaya dan corak kehidupan bangsa Arab, ia hampir dapat dipastikan mengalami ekskelektisasi kultural yang khas Indonesia tatkala mewujudkan diri sebagai agama masyarakat Indonesia.
Lantas kenapa akhir-akhir ini muncul radikalisasi Islam di Indonesia? maraknya kekerasan yang dilakukan segelintir kalangan Islam garis keras telah mewarnai halaman  sejarah bangsa Indonesia. Fenomena laskar jihad dan dalam konteks terorisme adalah Jami?iyah Islamiyah telah menggiring wajah Islam di Indonesia menjadi garang dan  radikal. Sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia. Dilatarbelakangi kondisi ini pula, banyak kalangan muslim yang juga membendung fenomena tersebut. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yang secara terbuka menghadang gerakan radikal tersebut.
 
Wajah Islam Yang Ramah
Seluruh umat Islam sepakat untuk memegang teguh al Qur?an dan Hadis sebagai pedoman dalam menjalan ajaran Islam, namun bukan tanpa masalah ketika terbentur oleh batas-batas etnisitas dan rentang waktu. Di Arab sendiri dan bangsa-bangsa sekitarnya pemahaman atas al Qur?an dan Hadis cukup bervariasi. Tak pelak juga terjadi di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Persebaran Islam telah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjang sehingga otentisitasnya sudah tidak terdeteksi lagi. Dengan demikian, variasi keberagamaan tersebut terletak pada bagaimana mereka memahami dan menafsirkan teks baik yang tertulis maupun yang ditangkap dalam historisitas peradaban Islam. Dari sinilah, dibutuhkan keberagamaan yang inklusif, pluralis dan ramah.
Dalam ilmu sosial, para penguasa menyadari bahwa jika tidak disertai dengan proses integrasi yang massif dan solid, proses diferensiasi (keberbedaan) selalu meninggalkan dampak-dampak negatif. Fakta sosial ini ternyata juga sangat disadari berkembang dalam penyebaran Islam dan persebaran tradisi kultural Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Karenanya, pandangan universalisme Islam cenderung untuk diusung dalam kerangka formalnya sesuai tradisi kultural Arab. Padahal universalisme Islam, jika kita bermaksud untuk diterima tradisi kultural lainnya, harus bertolak dari nilai-nilai (values) yang menyimpan pesan dan makna universalnya.
Oleh karena itu, yang harus pertama kita sepakati adalah bahwa pesan yang dibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam juga merupakan respon atas keadaaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Oleh karenanya, kita harus menyadari bahwa Pertama, Islam lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Maksud Islam sebagai produk lokal adalah Islam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di sana. Hal ini kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global.
Kedua, betapapun Islam itu diyakini wahyu Tuhan yang universal, yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justru kedua dimensi ini perlu disadari yang tidak mungkin di satu sisi Islam sebagai universal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokal sebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkan Islam itu.
Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam bisa dipahami di dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan ?disemaikan.? Sehingga klaim standarisasi keislaman seperti yang tercermin di Arab tidak ada, akan tetapi Islam di Indonesia setara dengan Islam di India, Islam di Persia maupun Islam di Arab. Bahwa Islam Indonesia misalnya dengan beberapa karakteristiknya tentu sangat berbeda dengan Islam-Islam di tempat lain meskipun subtansialisnya sama. Karena tradisi merupakan domain Islam historis, maka sejarah telah mengkomunikasikan teks Kitab Suci dengan budaya tertentu dengan proses-p9roses pemahaman, penafsiran dan 4akhirnya penerapan ajaran teks itu sehingga telah membentuk suatu tradisi yang bervarian.
Dalam konteks sosial tertentu, pandangan keislaman bisa dipertahankan atau bertahan dengan baik. Hukum syari?at, misalnya, dalam bentuknya yang ada, sebagai sebuah himpunan (corpus) komprehensif dari peraturan-peraturan hidup, kini tampak terikat pada asumsi-asumsi sosial tertentu yang sudah ketinggalan zaman. Banyak muslim ingin ?memodernkan? nya. Tetapi masih perlu ditunjukkan seberapa jauh kumungkinan kaum muslimin modern untuk memodifikasi syariat dalam prasangka-prasangkanya yang lebih fundamental tanpa, pada kenyataannya, meninggalkan kesetiaan yang serius pada riwayat-riwayat hadis tradisional yang menjadi dasar prasangka-prasangka tersebut. Namun riwayat-riwayat hadis telah berfungsi untuk menafsirkan al-Qur?an semenjak al Qur?an berhenti diturunkan pada saat Nabi Muhammad meninggal dunia, sebagai tafsirnya sendiri yang berkelanjutan: maka dipertanyakan sejauh mana riwayat-riwayat hadis dapat, pada babak ini dalam sejarah, dipisahkan dari al-Qur?an sebagai ?dispensible?, tanpa secara menentukan meninggalkan harapan untuk mendasarkan kehidupan pada al Qur?an dan dalam Islam yang didukungnya.
Dengan cara yang tidak begitu seksama dirumuskan, hal yang serupa juga terjadi pada budaya secara umum, dari kompleks pandangan hidup menyeluruh yang dikaitkan dengan agama. Dalam setiap budaya dapat dilihat adanya cara yang berbeda dari hidup bersama yang cocok, yang telah memberinya nada atau gaya yang berbeda. Cara-cara baru yang diperkenalkan bisa saja diasimilasikan dengan gaya budaya tersebut. Konsepsi Islam yang integral sebagai sebuah budaya yang menyeluruh menggarisbawahi gayanya yang khas, integritas budayanya sebagai suatu keseluruhan yang betul-betul koheren, dengan cara menelusuri semua ranting-rantingnya pada apa yang tampak sebagai fondasi-fondasi yang tidak bisa ditinggalkan. Kadang-kadang, apa yang kemudian dijalani sebagai Islam, dalam hal-hal tertentu, malah melanggar integritas kehidupan Islami: yakni, ia ternyata tidak konsisten dengan prasangka-prasangka budaya yang lebih fundamental dari Islam, ketika Islam telah dikembangkan; dan karena itu, mau tidak mau ia menimbulkan konflik yang akan membutuhkan semacam resolusi psikologis dan historis tertentu.
Meskipun begitu, apa yang telah dirasa sebagai Islam, dipandang dari sudut historis, dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalam implikasi-implikasinya yang paling penting, tentu saja telah sangat bervariasi. Kelengkapan visi Islam ketika ia berkembang telah menjamin bahwa ia tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya atau dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Karena secara historis Islam dan pandangan?pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural, atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural dengan sendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.
Di Indonesia, sebagai mayoritas Islam diharapkan mampu menjadi semacam "penengah" di antara umat agama-agama lain dan dituntut mampu mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelompoknya sendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagai tetangga dan saudara sebangsa. Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yang kritis, dialogis, dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society tampaknya harus terus mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan.
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya. Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Sehingga dalam kaitannya dengan negara, kita dapat melihat kecenderungan kalangan Islam terporalisasi ke dalam tiga bentuk. Pertama, kelompok formaslitik yang memperjuangkan penerapan syari?at Islam. Kedua, kelompok moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai substantif Islam untuk menjalankan roda pemerintahan. Dan ketiga, kelompok sekulerstik  yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan urusan publik atau masyarakat dan negara bukan urusan agama.
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini.
Ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup, membawa pengaruh munculnya harapan adanya pemerintahan pasca-Orba yang demokratis. Di antara harapan yang telah terwujud pada era reformasi ini adalah berdirinya partai-partai politik, yang setelah dilakukan seleksi kini berjumlah 48 buah; dan diperbolehkannya penggunaan Islam sebagai nama dan asas partai. Sebagian dari 48 partai ini merupakan partai-partai Islam, baik yang secara tegas menggunakan asas Islam atau tidak. Keadaan ini menjadikan banyak ulama masuk dalam partai-partai ini, meskipun masih banyak juga di antara mereka yang tidak mau masuk partai tertentu dan lebih mengkonsentrasikan pada pembinaan umat secara umum.
Keterlibatan banyak ulama dalam partai-partai itu dengan sendirinya menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu. Memang hal ini bisa membawa dampak positif, karena mereka akan dapat ikut serta memberikan pendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun, hal ini juga bisa membawa dampak negatif, jika mereka kemudian berupaya mempengaruhi umatnya untuk memilih partainya dengan cara yang tidak bijaksana. Dalam sistem dan budaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih tampak gejala-gejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh para tokoh politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tak terpuji ini ada kalanya dilakukan dengan cara halus, misalnya dalam bentuk money politics; dan ada kalanya dengan cara kasar, misalnya memaksa seseorang untuk mengikuti partai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain, melakukan penyerangan fisik terhadap anggota partai lain, dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan yustifikasi dalil-dalil agama yang tidak proporsional, misalnya mengatakan bahwa partai tertentu adalah partai sekular dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan berdosa, dan sebagainya. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara agama dan negara, dan bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk memperjuangkan aspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun, seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan tindakannya yang benar, apalagi dengan penggunaan yustifikasi keagamaan yang tidak proporsional. Kalaupun diperlukan yustifikasi dari dalil-dalil keagamaan, hal ini seharusnya hanya dilakukan terhadap persoalan yang memang benar-benar menunjukkan kemaslahatan dan keadilan bagi semua warga negara. Bukan terhadap persoalan yang masih diperdebatkan dengan dalil-dalil yang interpretable, hanya untuk men-yustifikasi kepentingannya sendiri.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elite politik maupun masyarakat umum memegang teguh etika politik. Hanya, para ulama terutama yang terlibat dalam politik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika politik ini, karena kedudukan mereka yang sangat terkait dengan pembinaan akhlak atau moralitas umat/ bangsa. Oleh karena itu, mereka seharusnya melakukan tugas: (a) tetap mendorong terciptanya persatuan dan persaudaraan di antara warga negara, (b) menghindari upaya "mempolitisasi" agama untuk men-yustifikasi sikap mereka, (c) tidak mengeluarkan pernyataan yang yang dapat menimbulkan emosi dan agresivitas massa, terutama yang berkaitan dengan sentimen suku agama ras dan antargolongan (SARA), dan (d) mencegah massa, yang secara umum memang belum dewasa dalam berdemokrasi itu, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis. Tugas-tugas ini akan sangat mendukung suksesnya negara yang demokratis, jujur dan adil.
Sementara itu, para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap memiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudan dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Mereka juga bisa melakukan tindakan politik meski dengan jalan non-politik (political action in the non-political way), yang dilakukan dalam kerangka melaksanakan amr ma'ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dengan komitmen pada penegakan etika-moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yang berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Dalam konteks ini, mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madani yang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi.
Transisi politik ternyata telah mengubah watak dan paradigma perjuangan Islam (ulama). Ulama yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalam bahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), di tengah arus transisi politik sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuangan ulama pelan-pelan mulai bergeser sering dengan perubahan politik di Tanah Air. Maka ulama pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengan segala jargon politiknya yang amat mengesankan.
Dalam konteks inilah, diperlukan reposisi ulama agar kembali ke habitatnya yang sejati, yakni menjadi cultural broker atau makelar budaya. Bahkan, peran Ulama tidak sekadar makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini juga dapat diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, ulama sebagai pemimpin umat memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi penguatan civil society melalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Ini adalah bentuk dari peran ulama sebagai agen penguatan civil society. Karena ciri pokok civil society adalah adanya kemandirian masyarakat terhadap negara dan tersedianya ruang publik yang bebas (a free public sphere). Civil society memang diarahkan sebagai resistensi dari model otonomi negara (state aotonomy) yang amat kuat berhadapan dengan masyarakat.
Karena itulah, reposisi ulama mengurusi wilayah kultural (civil society) menjadi agenda mendesak, agar ulama tidak mengalami kegagapan dan kegamangan dalam menghadapi transisi politik yang hiruk-pikuk berlangsung. Konsistensi terhadap sikap ini tentu memberi nilai positif bagi penciptaan generasi yang kuat dan tidak tergoda permainan politik yang sifatnya sesaat. Tanpa kesadaran ini, umat akan kehilangan orientasi jangka panjangnya dan modalitas bangsa akan hilang sia-sia dalam sekejap.
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Dengan tema-tema semaam itu, wajah Islam akan lebih ramah dan lebih toleran terhadap berbagai hal tanpa harus menghilangkan substansi dari ajarannya.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Oleh karenanya, segenap kaum muslimin harus mengembangkan kultur yang lebih progresif dan visioner baik dalam berpolitik maupun bermasyarakat.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan.
Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. Akankah kaum muslim di Indonesia menafikan kenyataan historis dan kultural tersebut?
Rekonsiliasi Kultural
Wacana global society menemukan momentumnya ketika icon terorisme menjadi peluru untuk menghantam Islam. Bahwa Islam itu garang, peneror seakan pedang siap menghunus, telah dijadikan nalar politik global untuk mengkerandakan Islam. Gambaran Talibanisme telah menghentakkan masyarakat Internasional, khususnya masyarakat Islam itu sendiri. Citra Taliban menggugah tatanan dan strategi perjuangan umat Islam. Di Indonesia sendiri terorisme dikaitkan dengan jaringan Jami?iyah Islamiyah. Padahal, banyak afiliasi kelompok-kelompok yang sering dikenal dengan Islam garis keras telah ada di Indonesia. Hanya saja, meskipun yang menjadi bidikan terorisme hanyalah segelintir kalangan Islam, persoalannya bidikan itu seolah menegaskan bahwa terorisme tumbuh cukup subur di Indonesia. Inilah yang mau tidak mau juga menjadi tantangan dan agenda bersama seluruh umat Islam di Indonesia.
Lantas, upaya apa yang harus diformulasikan dan diartikulasikan untuk mengembalikan citra Islam di Indonesia yang lebih ramah, pluralis dan inklusif. Yang dapat dilakukan umat Islam di Indonesia untuk mengembalikan citra sekaligus membangun Islam Indonesia ke depan adalah rekonsiliasi kultural. Rekonsiliasi kultural seluruh kekuatan umat Islam di Indonesia dengan memperrutin dialog-dialog, mendialektikan pemahaman dan keberagamaan masing-masing serta mengintensifkan gerakan kultural untuk meneguhkan keislaman yang lebih ramah, terbuka dan pluralis. Selain itu, makin menggiatkan hubungan dengan agama non-Islam sekaligus dengan negara serta dunia internasional dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta menyusun konsensus-konsensus bersama untuk hidup damai dan sejahtera.
Yang perlu dipertimbangkan juga adalah satu bentuk rekonsiliasi yang mempertimbangkan hak-hak kultural masyarakat lokal. Terutama menyangkut hubugan agama dan kebudayaan. Masalahnya, hubungan antara agama dan kebudayaan tidaklah terletak pada substansi agama itu sendiri sebagai wahyu Tuhan (berbeda dengan kelembagaan agama), melainkan terletak pada relasi kuasa antar berbagai komunitas agama dan atau budayanya (atau subkultur) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi hubungan tersebut terbangun atas dasar atau dijustifikasi oleh konstruksi atau racikan tentang otentitas agama, oleh tradisi atau sejarah masa lalu, permainan kaum elit politik, atau oleh perbedaan pandangan dan sikap hidup masing-masing komunitas.
Bentuk-bentuk rekonsiliasi kultural yang memungkinkan terjaminnya suasana yang dialogis dan harmonis itu diantaranya adalah adanya negoisasi antara agama dengan komunitas agama lokal atau pendukung kebudayaan lokal. Mungkin ini sulit untuk dilakukan, namun bisa saja terjadi proses tawar-menawar (sharing) antara kedua belah pihak, saling memberi dan menerima, sehingga tidak ada satu pun yang dirugikan. Dan ketegangan pun mulai dikikis secara perlahan, dengan tidak lagi mengajukan argumen-argumen dari konstruksi teologis dan politik yang sifatnya menghukumi dan mengadili. Pendeknya, akan ada pengakuan terhadap multikulturalisme dengan tetap mengedepankan saling menghargai. Dus, pada dunia internasional tidak dengan mudah mengarahkan tuduhan dan bidikan terorisme tumbuh makmur di Indonesia. Bahwa Islam di Indonesia tidaklah seperti yang dibayangkan sebagai sarang terorisme.
Dengan demikian, Islam di Indonesia akan menemukan formulasi yang lebih akomodatif, toleran dan ramah terhadap berbagai kemungkinan yang dihadapi bahkan arus globalisasi sekali pun. Upaya rekonsiliasi kultural yang disertai penyegaran-penyegaran pemahaman keislaman akan membantu umat Islam di Indonesia sanggup ikut berpartisipasi dalam mengatasi krisis multidimensi di Indonesia. Dan dari keberagamaan umat Islam yang demikianlah fajar baru Indonesia akan membangun  tatanan kehidupan yang lebih sejahtera dengan langkah pasti mengarungi arus globalisasi, bergelut dengan kompetisi global. Wallaul a?lam bish showab